JOGJA, iseijogja.org – Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Atma Jaya Yogyakarta (FBE UAJY) menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Menavigasi Perubahan: Bisnis-Ekonomi Berkelanjutan menuju Indonesia Maju” di Auditorium Kampus 3 UAJY, Babarsari, Yogyakarta (Selasa, 16/09/25). Seminar nasional tersebut menghadirkan pembicara Romo Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ (Guru Besar STF Driyarkara), Yustinus Prastowo, MA., M.Phil (Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta), Prof. Aloysius Gunadi Brata, Ph.D (Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY). Selaku moderator Mahestu N. Krisjanti, Ph.D (Dekan FBE UAJY).
Kegiatan seminar tersebut diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis UAJY ke-60. Hadir sebanyak 150 peserta yang mewakili Akademisi (PTN/PTS), Pengusaha dan Perbankan, Pemerintah Daerah, LSM, Guru dan Mahasiswa FBE UAJY. Hadir juga ketiga Wakil Rektor UAJY serta pejabat di lingkungan UAJY.
“Tantangan terbesar adalah membawa Indonesia ke masa Emas 2045”, ungkap Romo Magnis. Menurut Franz Magnis,kita sudah berhasil menjadi diri kita sendiri apabila kita sudah bertanggung jawab. Apabila kita lari dari tanggung jawab berarti kita gagal menemukan jati diri sendiri.
Selanjutya Romo Magnis, melihat lima tantangan besar dunia, yaitu: (1) bertambahnya perang, (2) ancaman kelaparan, (3) ideologi-ideologi ekstrem negara, (4) keambrukan lingkungan hidup alami, dan 5) artificial intelligence (AI). Untuk Indonesia setidaknya terdapat tiga tantangan, yaitu: (1) ancaman dari ideologi-ideologi dari transnasional-ekstrimis-agamis, (2) kesejahteraan umum gagal tercapai, dan (3) pembusukan demokrasi kita.
“Ekonomi Indonesia cukup stabil, dilihat ketika saat krisis, Indonesia tidak terlalu terpuruk, sayangnya pulihnya lambat”, jelas Prastowo. Menurut Prastowo, tantangan Indonesia adalah kemiskinan dan ketimpangan yang masih besar. Rata- rata tabungan di atas Rp 1 milyar dan rata- rata di bawah Rp 100 juta sangatlah timpang.
“Penyebab ketimpangan adalah kemajuan teknologi, globalisasi, dan sistem pajak regresif yang menguntungkan orang kaya”, tegas Prastowo. Negara-negara dengan indeks kebahagiaan yang tinggi adalah negara dengan tingkat ketimpangan yang rendah. Krisis iklim dan transisi energi jadi permasalahan. Alih- alih mendukung ekonomi hijau, Indonesia masih di level survive. “Pertumbuhan kita belum inklusif’, ungkap Prastowo. Tantangan yang mendesak adalah keberlanjutan, ketimpangan di daerah harus diatasi. Kita juga perlu arah baru yakni kolaborasi dan reformasi.
Selanjutnya Aloysius Gunadi Brata menjelaskan bahwa global income inequality mengalami kenaikan. “Hutang juga naik dan kita tumbuh dengan mengorbankan sisi lingkungan yang sangat besar”, jelas Aloysius. Menurut Aloysius, kepedulian kepada lingkungan baru sebatas wacana atau pura-pura peduli belum pada tingkatan aksi atau tindakan nyata.
Aloysius berharap perubahan fondasi ekonomi. Kebijakan dekarbonisasi, dekolonisasi dan diversifikasi perlu menjadi perhatian pengambil kebijakan baik pemerintah, swasta dan pemangku kepentingan lainnya. “ Di level pendidikan tinggi, perlu adanya inovasi pengajaran dan penilaian”, harap Guru Besar FBE UAJY. Kurikulum tidak hanya ditentukan oleh dosen, namun juga dapat terbuka atas usul mahasiswa.
“Aksi untuk peduli kepada lingkungan dapat dilakukan oleh siapapu”, tegas Nurdianto alumnus Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY. Aksi tersebut dapat dimulai dari lingkungan sekitar. Pengalaman di lapangan, menjadikan Nurdianto mengajak berbagai pihak terlibat, termasuk kepada petani. Dengan komunikasi yang berlanjut maka petani bersedia menggunakan pupuk kompos dengan mengurangi pupuk anorganik. Kondisi ini menjadikan kesadaran terhadap lingkungan meningkat.







