Y. Sri Susilo, Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY & Pengurus BPD Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY
Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) merupakan salah satu sektor unggulan manufaktur nasional. Selain menjadi penghasil devisa sejak beberapa dasa warsa terakhir, industri TPT menjadi andalan dalam penyerapan tenaga kerja.
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) mencatat jumlah pekerja industri TPT mencapai 3,65 juta atau 18,79 persen dari total tenaga kerja industri manufaktur per tahun 2024. Sementara data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) per tahun 2024 menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja sektor industri TPT mencapai 3,9 juta orang. Angka tersebut hampir 20% dari total tenaga kerja industri manufaktur nasional. Kedua sumber tersebut menyebutkan data yang tidak jauh berbeda.
Sebulan terakhir berita mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri TPT mengemuka di banyak media. Tahun yang lalu juga terjadi fenomena PHK yang sama. Sebenarnyaya PHK tersebut sudah terjadi sejak tahun 2019. Mengapa PHK tersebut terjadi? Bagaimana solusinya? Jawaban kedua pertanyaan tersebut menjadi fokus tulisan ini.
Penyebab PHK tersebut karena beberapa perusahaan TPT produksinya menurun drastis sehingga memaksa mereka melakukan PHK atau merumahkan sementara pekerjanya. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat 49.206 pekerja di industri tekstil TPT terkena PHK sejak Januari 2024 hingga awal Juni. Adapun lokasi yang paling banyak melakukan PHK di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan gelombang PHK di industri TPT tahun 2024 paling banyak terjadi di lini industri antara (intermediate) yang mengolah bahan baku setengah jadi untuk memproduksi kain. Sepanjang Januari-Mei 2024, korban PHK di industri TPT sudah mencapai hampir 11.000 pekerja, angka tersebut meningkat cukup drastis dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Perlambatan ekonomi dunia yang menyebabkan anjloknya permintaan di pasar-pasar ekspor utama produk TPT Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu maraknya PHK. Serbuan barang TPT impor, baik legal maupun ilegal, juga faktor penyebab. Kondisi tersebut mengikis pangsa pasar domestik bagi industri TPT. Kedua hal tersebut menjadi faktor pemicu terjadinya gelombang PHK di industri TPT.
Masuknya produk impor TPT dari China menjadikan produk domestik kalah bersaing. Dari berbagai sumber, kondisi di pasar TPT domestik saat ini bukan lagi sekadar dumping yang harus dihadapi oleh industri TPT dalam negeri, tetapi sudah mengarah pada persaingan tak sehat berupa prodatory pricing. Strategi predatory pricing tersebut illegal karena menjual barang di bawah harga pasar. Hal tersebut merupakan salah satu trik perdagangan yang bertujuan untuk monopoli di pasar.
Kalangan industri TPT menyatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8 Tahun 2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor menjadi penyebab membanjirnya produk TPT impor, khususnya dari China. Untuk diketahui, Permendag tersebut memberikan sejumlah kemudahan persayaratan produk impor yang masuk ke Indonesia. Banjir produk impor TPT semakin menjadi-jadi semenjak diterbitkan Permendag tersebut yang merelaksasi atau memberikan kemudahan kegiatan impor tersebut.
Melihat kondisi obyektif tersebut maka seharusnya Permendag 8 Tahun 2024 direvisi dan diselaraskan dengan upaya peningkatan daya saing produk dalam negeri. Permendag tersebut dapat menurunkan optimisme pelaku industri dalam negeri, menghambat teknologi dan inovasi, serta meningkatkan ketergantungan pada produk impor. Akhirnya kebijakan Permendag tersebut melemahkan daya saing industri domestik, termasuk TPT.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk merespon terjadinya gelombang PHK di industri TPT. Informasi terakhir, pemerintah telah menyiapkan regulasi berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). BMTP adalah pungutan yang dapat dikenakan terhadap barang impor jika terjadi lonjakan jumlah barang impor yang secara absolut ataupun relatif terhadap barang produksi dalam negeri sejenis atau barang yang dapat secara langsung bersaing. BMAD adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian. Selanjutnya BMAD ditujukan untuk melindungi produk dalam negeri dari persaingan tidak sehat dari pemasok produk impor yang sejenis.
Kedua kebijakan tersebut akan diimplementasikan dengan mengenakan tariff sebesar 100 – 200 persen terhadap produk impor. Menurut Mendag, hampir seluruh barang impor siap pakai akan dikenakan bea masuk yang rata-rata berkisar di atas 100 persen. Beberapa produk termaksud di antaranya seperti produk kecantikan, TPT (termasuk pakaian jadi dan alas kaki) dan keramik.
Dalam kondisi saat ini, Pemerintah harus secepatnya menerapkan kebijakan tersebut. Dengan berlakunya regulasi tersebut diharapkan industri TPT secara bertahap bangkit dari keterpurukan. Pangsa pasar yang semula digerus oleh produk impor dapat direbut kembali. Tahap selanjutnya dapat berproduksi dan memperkerjakan karyawannya kembali.
Di sisi lain, industri TPT domestik dari skala kecil, menengah dan besar harus meningkatkan produktivitasnya. Pencapaian produktivitas dapat dicapai bersamaan dengan melakukan efisiensi produksi. Dari capaian tersebut diharapkan produk TPT nasional mampu bersaing baik dari sisi harga dan kualitas. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa industri TPT tidak termasuk kategori industri yang sedang redup (sunset industry).
Catatan penutup, regulasi yang disusun Pemerintah untuk melindungi produk domestik tidak hanya dituntut baik dan lengkap di atas kertas. Regulasi tersebut juga harus ditegakkan secara optimal dalam implementasi di lapangan. Jika tidak opgimal, kondisi tersebut menjadikan tujuan dan sasaran dari regulasi tidak tercapai. Kita tunggu implementasi regulasi yang dapat mendorong industri TPT nasional bangkit kembali dan sekaligus dapat mencegah terjadinya gelombang PHK yang berlanjut.
Dr. Y. Sri Susilo, SE, M.Si. Dosen Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY & Pengurus BPD Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) DIY
Catatan: Artikel opini ini pernah dimuat di Harian Jogja (Kamis, 4 Juli 2024: hal. 10)