Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

UU Perampasan Aset yang Bermatabat & Berkeadilan

JOGJA, iseijogja.org – Ikatan Dosen Katolik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (IKDKI DIY) telah menyelenggarakan webinar nasional dengan topik “Menanti UU Perampasan Aset yang Bermatabat dan Berkeadilan” (Jumat, 10/10/25).

Zoom Ikatan Dosen Katolik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (IKDKI DIY

JOGJA, iseijogja.org – Ikatan Dosen Katolik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (IKDKI DIY) telah menyelenggarakan webinar nasional dengan topik “Menanti UU Perampasan Aset yang Bermatabat dan Berkeadilan” (Jumat, 10/10/25). Webinar tersebut diselenggarakan dalam rangka HUT IKDKI ke-6 pada bulan November 2025.

Dalam webinar hadir narasumber Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, SH., M.Hum (Ketua Departtemen Hukum Pidana FH UGM) dan Prof. DR. Gabriel Lele, S.IP., M.Si (Direktur Pusat Pengembangan dan Kapasitas Kerjasama FISIPOL UGM). Bertindak selaku moderator Dr. Y. Sri Susilo, SE., M.Si (Dosen FBE UAJY/Pengurus IKDKI DIY). Jumlah peserta webinar mencapai 52 orang yang merupakan pengurus dan anggota IKDKI dari berbagai wilayah di Indonesia.

“Dalam rangkaian HUT IKDKI ke-6, baik pengurus pusat dan daerah menyelenggarakan  berbagai kegiatan akademik”, jelas Romo Bernardus Agus Rukiyanto, SJ (Ketua IKDKI DIY). Menurut Romo Ruki, untuk IKDKI DIY menyelenggarakan webinar dengan topik UU Perampasan Aset. Seperti diketahui, UU Perampasan Aset adalah regulasi yang memungkinkan negara merampas aset dari tindak pidana, terutama kejahatan ekonomi seperti korupsi, bahkan tanpa harus menunggu vonis pengadilan. Saat ini, RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025–2026 dan segera dibahas oleh Pemerintah dan DPR.

“Korupsi memiliki daya rusak secara ekonomi, sosial, politik dan hukum”, tegas Gabriel Lele (Guru Besar FISIPOL UGM). Menurut Gabriel, korupsi yaang terjadi di Indonesia dari korupsi tingkatan mikro-kecil (petty corruption) sampai korupsi tingkat kakap/tinggi atau skala besar (grand corruption). Korupsi yang terjadi sudah termasuk kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime) harus direspon dengan tindakan yang luar biasa (extra ordinary measure). Gabriel selanjutnya menjelaskan bahwa perampasan dalat dilakukanj dengan dua pendekatan. Kedua pendekatan termaksud adalah: (1) Conviction-Based Asset Forfeiture (CBAF) yaitu perampasan berdasarkan keputusan pengadilan. (2) Non-Conviction-Based Asset Forfeiture (NCBAF) yaitu perampasan berdasarkan dugaan ketidakjelasan asal usul aset (unexplained asset).

Kelebihan CBF Adalah lebih berkekuatan hukum tetap atau jelas dan menghindari kesewenang-wenangan atau politisasi perampasan. Keterbatasannya Adalah memakan waktu lama untuk pembuktian dengan risiko penghilangan jejak. Untuk NCBAF mempunyai kelebihan lebih cepat prosesnya terutama untuk pemulihan kerugian dan pencegahan pencucian. Keterbasannya hdalah terdapat potensi penyelewengan dan atau politisasi, Selanjutnya menurut Marcus Priyo Gunarto (Guru Besar FH UGM), terdapat beberapa catatan terhadap RUU Perampasan Asdet versi Pemerintah tahun 2019. Catatan termaksud Adalah: (1) menganut prinsip NCBAF. (2) Perampasan asset sebagai upaya paksa untuk semua tindak pidana, tanpa penghukuman. (3) Dasar persangkaan Adalah kekayaan berlebih  diperoleh dari perbuatan jaha. (4) Berpotensi menggunakan pembuktia terbalik. (5) Berpotensi negara merampas harta legas dari masyarakat yang tidak dapat dibuktikan.

“Dari UU Perampasan Aset nantinya akan diperoleh tiga manfaat”, jelas Marcus. Ketiga manfaat termaksud berkaitan dengan konsep teoritik pemberantasan aset, yaitu: (1) memulihkan aset negara yang hilang akibat kejahatan (Tipikor). (2) Menghilangkan/membasmi keuntungan ekonomi yang diperoleh dari kejahatan ekonomi  (TPPU, TPPO dan Narkoba). (3) Mencegah penggalangan dana untuk melakukan tindak pidana yang membahayakan kelangsungan bangsa dan negara (Pendanaan teorisme). Marcus Priyo Gunarso juga mengingatkan bahwa perampasan aset tanpa pemutusan pemidaan (NCBAF) seharusnya bersifat komplemen, bukan substitusi dari proses pidana atau bersamaan. “Perampasan aset merupakan upaya terakhir, bukan pilihan mekanisme yang bisa dilakukan bersama-sama dengan proses pidana”, ungkap Marcus. Menurut Marcus, proses NCBAF hanya dapat diajukan jika penuntutan tidak memungkinkan (unavailable) atau tidak berhasil (unsuccesful), seperti kurang cukup bukti, tersangjka/terdakwa meninggal dunia, melarikan diri, kekebalan diplomatik dan sebab hukum lainnya.

“Hasil dari werbinar diharapkan dirumuskan kembali dan menjadi dokumen yang akan disampaikan kepada Pemerintah, DPR dan pihak terkait”, harap Prof. Dr. Ir. Agustinus Purna Irawan, MT, MM, IPU., ASEAN Eng., (Ketua Pengurus Pusat IKDKI). Narasumber, moderator dan seluruh peserta mendukung agar rumusan hasil webinar disampaikan kepada Pemerintah dan DPR,

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *