Kongres Pancasila XII tahun ini menjadi momen reflektif bagi masyarakat Indonesia, terutama saat Hari Kusuma Satria Negara, SE.,M.Acc.,Ak.,CPA, dan Dr. Hani Subagyo.SH, KN, MM sebagai Kepala Pusat Pembelajaran Bela negara dan Kepala Pusat Studi Pancasila UPN Veteran Yogyakarta tampil sebagai pembicara dengan membawa materi mengenai Menata Ulang Moralitas Bangsa Melalui Penguatan Pancasila dan Bela Negara. Dalam materinya, keduanya membahas mengenai fenomena merosotnya moralitas bangsa di era modern dan mengajak semua elemen masyarakat untuk kembali pada nilai-nilai Pancasila sebagai landasan moral dan identitas bangsa Indonesia.
Mengaburnya Baik dan Buruk: Tantangan Moralitas Modern
Hari Kusuma Satria Negara mengawali penjelasannya dengan menyoroti fenomena yang ia sebut sebagai “mengaburnya ruang privat dan publik”. Menurutnya, modernitas dan kemajuan teknologi telah menciptakan ruang sosial di mana batas-batas antara ruang pribadi dan ruang publik menjadi semakin kabur. Dulu, ada perbedaan yang jelas antara apa yang dianggap pantas di baik maupun buruk, namun saat ini batas-batas tersebut semakin menghilang.. Ia menyampaikan keprihatinannya bahwa dalam kondisi ini, masyarakat sering kali gagal mengenali tindakan apa yang baik atau buruk, karena standar moral mulai tumpang tindih saat ini.
Pertentangan Nilai Kultural dan Universal: Dilema Moral yang Menghantui
Salah satu aspek yang menarik dalam penjelasan Hani Subagio adalah pandangannya tentang pertentangan antara nilai moral kultural dan universal. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya memiliki norma dan standar moralnya sendiri, yang terkadang bertentangan dengan nilai-nilai moral universal yang diakui secara global, seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. “Nilai moral kultural dan universal sering kali berlawanan, menciptakan dilema moral yang sulit dipecahkan oleh masyarakat kita” ungkapnya.
Korupsi dan Moralitas Baru: Saat Pembiaran Menjadi Kewajaran
Salah satu poin penting dalam materi yang dibawakan adalah kritiknya terhadap praktik korupsi yang saat ini seakan semakin ‘diwajarkan’ oleh para pelaku tersebut. Senyum koruptor yang tertangkap KPK seolah menandakan bahwa tindakan korupsi adalah hal yang lumrah, keduanya menyoroti fenomena pembiaran dalam masyarakat yang membuat praktik-praktik culas dan semena-mena diterima sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Pembiaran terhadap perilaku buruk inilah yang melahirkan standar moral baru, dimana keburukan dianggap normal,
Keduanya juga menyinggung maraknya penghakiman terhadap kelompok minoritas oleh mayoritas, yang ia pandang sebagai cermin dari hilangnya semangat “Bhineka Tunggal Ika” dalam praktik kehidupan berbangsa. “Bangsa ini bukanlah negara untuk mayoritas yang zalim, tetapi negara untuk semua, bagi semua rakyat tanpa kecuali,” seperti yang dikutip dalam materinya, ia mengingatkan bahwa prinsip-prinsip Pancasila menuntut keadilan bagi seluruh elemen masyarakat.
Solusi: Pancasila sebagai Jati Diri dan Jiwa Bangsa
Hari Kusuma Satria Negara dan Hani Subagio menawarkan solusi yang fundamental untuk mengatasi krisis moralitas bangsa ini, yaitu dengan melalui penguatan nilai-nilai Pancasila dan semangat bela negara. Menurutnya, Pancasila bukan sekadar dasar negara, tetapi juga harus menjadi “jiwa” dan “jati diri” setiap warga negara Indonesia. Untuk mengembalikan bangsa ini ke jalur yang benar, kita harus menempatkan Pancasila di hati dan pikiran kita, bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai pedoman hidup,
keduanya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk memperkuat komitmen terhadap bela negara. Bela negara tidak hanya soal angkat senjata atau pertahanan fisik, tetapi juga soal menjaga moralitas dan integritas bangsa ini. Dalam pandangan keduanya, bela negara berarti menjaga semangat kebersamaan, keadilan, dan integritas di semua lini kehidupan, dari pemerintah hingga masyarakat umum.
Terakhir, Hari Kusuma Satria Negara dan Hani Subagio keduanya melalui Pusat Studi Pancasila mengundang para penulis dna civitas akademika untuk berkontribusi dalam Jurnal Pancasila dan Bela Negara JPBN. Jurnal ini terbit dua kali setahun, pada Februari dan September, keduanya mengajak pentingnya penulis dan civitas akademika untuk berperan dan berdampak bersama sebagai bentuk pengabdian masyarakat dalam fokus Pancasila dan Bela Negara sebagai bentuk menempatkan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang akhir-akhir ini mulai luntur di Masyarakat.