Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

KEM PPKF 2025: Mewujudkan Transisi Pemerintahan Yang Berkelanjutan

Jonathan Ersten Herawan, SE, CFAP (Staf Akademik PP ISEI & Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta)

Menjelang bulan Agustus, Pemerintah bersama DPR menyusun KEM PPKF sebelum dibahas menjadi RAPBN. KEM PPKF 2025 ini menjadi salah satu sasaran yang penting karena akan beririsan dengan transisi Pemerintahan baru dan kondisi kerapuhan global (global fracturing).

Dalam KEM PPKF 2025 ini, berbagai asumsi indikator makro dibuat sebagai guidance dalam politik anggaran. Pertumbuhan ekonomi 2025 diperkirakan di angka 5,1 – 5,5 persen (YOY) dan indikator inflasi dalam kisaran 1,5 – 3,5 persen. Angka pertumbuhan ekonomi dinilai proporsional ditengah berbagai kompleksitas global namun untuk inflasi dapat dikatakan terdapat gap sasaran yang cukup lebar dan kurang menunjukkan psikologis pasar.

 Mengenai kurs rupiah, Pemerintah memperkirakan di kisaran Rp15.300 – Rp15.900 dengan SBN tenor 10 tahun di kisaran 6,9 – 7,2 persen. Pada indikator kurs rupiah dinilai perlu melakukan rasionalisasi karena apabila meleset dapat berdampak melebarnya defisit neraca transaksi berjalan dan keseimbangan primer.

Pada indikator kesejahteraan, angka kemiskinan di kisaran 7 – 8 persen dan sesuai program pengentasan kemiskinan ekstrim, dipatok di angka 0 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka juga ditargetkan di angka 4,5 – 5 persen. Indeks modal manusia berada di angka 0,56 (indeks) dan rasio gini terjaga di angka 0,379 – 0,382 (indeks).

Defisit Anggaran yang Melebar

Terdapat catatan krusial pada KEM PPKF 2025, dimana defisit anggaran berada di angka 2,45 – 2,82 persen terhadap PDB yang cukup tinggi ditengah masa konsolidasi fiskal. Proporsionalnya, Pemerintah kembali mempertimbangkan defisit anggaran di bawah 2 persen terhadap PDB untuk memunculkan kredibilitas terhadap Pemerintahan baru. Menurut BAPPENAS RI (2024), idealnya defisit anggaran tahun 2025 berada di kisaran 1,5 – 1,8 persen sebagai upaya tertib fiskal yakni mengidealkan defisit 30 persen walaupun UU memperbolehkan 60 persen.

Defisit yang relatif rendah akan memudahkan Pemerintah baru dalam pengelolaan anggaran karena akan memberikan fleksibilitas dan memberi ruang kepercayaan kepada masyarakat dan dunia internasional. Pengelolaan APBN yang akuntabel, prudent, kredibel, inklusif, dan berkelanjutan dinilai menjadi urgensi saat ini.

Arah dan Strategi Kebijakan Fiskal

Pemerintahan baru dinilai masih akan terdampak terhadap rendahnya tax ratio karena masih tinggina ketidakpastian global. Rasionalisasi fiscal stance dengan pro-cylical fiscal tightening dinilai masih relevan dan penting untuk mendukung real business cycle. Berbagai tantangan masih harus diselesaikan Pemerintah melalui berbagai sasaran program, maka Pemerintah perlu bijak dalam alokasi belanja dengan melakukan spending better dan automatic adjustment dalam pengelolaan anggaran negara.

Penerapan market based financing juga perlu dilakukan dan diakselerasi dengan dunia usaha untuk mengantisipasi berbagai tekanan global karena di tengah BANI framework diperlukan langkah – langkah akomodatif dan solutif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemerintah perlu melakukan monitoring dan evaluasi anggaran yang lebih ketat dengan mekanisme “money follow program” karena terbatasnya likuiditas global.

Fokus Program Pemerintah

Surplus APBN yang terjadi belakangan ini menjadi standing position penting Pemerintah karena terbukti tetap berhasil menjaga resiliensi perekonomian nasional. Fokus program Pemerintah kedepan diharapkan masih dalam penyelesaian ketimpangan antar wilayah, antar generasi, dan antar sektor.

Program hilirisasi sebenarnya menjadi model penting sebagai strategi akselesasi labour skill dan memberikan nilai tambah bagi berbagai komoditas Indonesia. Intensifikasi dan ekstensifikasi program hilirisasi perlu dilakukan dengan mendorong sektor agrikultur yang sebarannya lebih merasa serta menjadi sektor yang pro-poor dan pro- job. Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada hilirisasi komoditas tambang terutama nikel.

Trajectory Viet Nam dalam industrialisasi produk agrikultur harus dipertimbangkan karena terbukti membuka lapangan pekerjaan dan memberikan kontribusi maksimal pada perekonomian.

Penutup  

Standing position Pemerintah dalam menangani beberapa krisis telah terbukti memunculkan resiliensi terhadap perekonomian, namun tetap terdapat berbagai catatan sebgai upaya perbaikan. Keberlanjutan program Pemerintah perlu dilakukan namun perlu dilakukan rasionalisasi dengan melakukan perbaikan dan penyempurnaan guna terciptanya transformasi bangsa.

Reformasi struktural terutama bagi policy maker harus terus dilakukan dan disempurnakan denga melakukan digitalisasi karena pada dasarnya perlu adanya inkubasi ekosistem pemerintahan yang GCG. Pada dasarnya, berbagai program pemerintah harus memberikan perlindungan kepada masyarakat dan menjaga perekonomian dari kerapuhan global. (Jonathan Ersten Herawan, SE, CFAP. Staf Akademik PP ISEI & Pengurus ISEI Cabang Yogyakarta).

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *